INDAHNYA KEJUJURAN

Oleh Abu Ridho
Khalifah Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu memiliki kegemaran melakukan ronda malam sendirian untuk
melihat langsung kondisi rakyatnya. Sepanjang malam
ia memeriksa keadaan rakyatnya secara langsung dari
dekat. Pada suatu malam, ketika melewati sebuah
gubuk, khalifah merasa curiga melihat lampu yang
masih menyala. Di dalamnya terdengar suara orang berbisik-bisik. Khalifah Umar menghentikan
langkahnya. Ia penasaran ingin tahu apa yang sedang
mereka bicarakan. Dari balik bilik Khalifah Umar
mengintipnya. Tampaklah seorang ibu dan anak
perempuannya sedang sibuk mewadahi susu. “Bu, kita hanya mendapat beberapa kaleng hari ini,” kata anak perempuan itu. “Mungkin karena musim kemarau, air susu kambing kita jadi sedikit.” “Benar anakku,” kata ibunya. “Tapi jika padang rumput mulai menghijau lagi pasti kambing-kambing kita akan gemuk. Kita bisa memerah
susu sangat banyak,” harap anaknya. “Hmm…, sejak ayahmu meninggal penghasilan kita sangat menurun. Bahkan dari hari ke hari rasanya
semakin berat saja. Aku khawatir kita akan kelaparan,” kata ibunya. Anak perempuan itu terdiam. Tangannya
sibuk membereskan kaleng-kaleng yang sudah terisi
susu. “Nak,” bisik ibunya seraya mendekat. “Kita campur saja susu itu dengan air. Supaya penghasilan kita cepat
bertambah.” Anak perempuan itu tercengang. Ditatapnya wajah ibu
yang keriput. Ah, wajah iu begitu lelah dan letih
menghadapi tekanan yang amat berat. Ada rasa sayang
yang begitu besar di hatinya. Namun, ia segera menolak
keinginan ibunya. “Tidak, Bu!” katanya cepat. “Khalifah melarang keras semua penjual susu mencampur susu
dengan air.” Ia teringat sanksi yang akan dijatuhkan kepada siapa saja yang berbuat curang kepada pembeli. “Ah! Kenapa kau dengarkan Khalifah itu? Setiap hari kita selalu miskin dan tidak akan berubah kalau tidak
melakukan sesuatu,” gerutu ibunya kesal. “Ibu, hanya karena kita ingin mendapat keuntungan yang besar, lalu kita berlaku curang pada pembeli?” “Tapi tidak akan ada yang tahu kita mencampur dengan air! Tengah malam begini tak ada yang berani keluar.
Khalifah Umar pun tidak akan tahu perbuatan kita,” kata ibunya tetap memaksa. “Ayolah, Nak, mumpung tengah malam. Tak ada yang melihat kita!” “Bu, meskipun tidak ada seorang pun yang melihat dan mengetahui kita mencampur susu dengan air, tapi Allah
tetap melihat. Allah pasti mengetahui segala perbuatan
kita serapi apapun kita menyembunyikannya,” tegas anak itu. Ibunya hanya menarik nafas panjang.
Sungguh kecewa hatinya mendengar anaknya tak mau
menuruti suruhannya. Namun, jauh di lubuk hatinya ia
begitu kagum akan kejujuran anaknya. “Aku tidak mau melakukan ketidakjujuran pada waktu ramai maupun sunyi. Aku yakin, Allah tetap selalu
mengawasi apa yang kita lakukan setiap saat,” kata anak itu. Tanpa berkata apa-apa, ibunya pergi ke kamar.
Sedangkan anak perempuannya menyelesaikan
pekerjaannya hingga beres. Di luar bilik, Khalifah Umar
tersenyum kagum akan kejujuran anak perempuan itu. “Sudah sepantasnya ia mendapatkan hadiah!” gumam Khalifah Umar. Dia beranjak meninggalkan gubuk itu
kemudian ia cepat-cepat pulang ke rumahnya. Keesokan paginya, Khalifah Umar memanggil putranya,
Ashim bin Umar. Diceritakannya tentang gadis jujur
penjual susu itu. “Anakku menikahlah dengan gadis itu. Ayah menyukai kejujurannya,” kata Khalifah Umar. “Di zaman sekarang, jarang sekali kita jumpai gadis jujur seperti dia. Ia bukan
takut pada manusia. Tapi takut pada Allah yang
MahaMelihat.” Ashim bin Umar menyetujuinya. Beberapa hari kemudian Ashim melamar gadis itu.
Betapa terkejut ibu dan anak perempuan itu dengan
kedatangan putra khalifah. Mereka mengkhawatirkan
akan ditangkap karena suatu kesalahan. “Tuan saya dan anak saya tidak pernah melakukan kecurangan dalam menjual susu. Tuan jangan tangkap
kami…,” sahut ibu tua ketakutan. Putra khalifah hanya tersenyum. Lalu mengutarakan
maksud kedatangannya hendak menyunting anak
gadisnya. “Bagaimana mungkin? Tuan adalah seorang putra khalifah, tidak selayaknya menikahi gadis miskin
seperti anakku?” tanya ibu dengan perasaan ragu. “Khalifah adalah orang yang tidak membedakan manusia. Sebab, hanya ketakwaanlah yang
meninggikan derajat seseorang di sisi Allah,” kata Ashim sambil tersenyum. “Ya. Aku lihat anakmu sangat jujur,” kata Khalifah Umar. Anak gadis itu saling berpandangan dengan ibunya.
Bagaimana khlaifah tahu? Bukankah selama ini ia belum
pernah mengenal mereka. “Setiap malam aku suka berkeliling memeriksa rakyatku. Malam itu aku
mendengar pembicaraan kalian…,” jelas Khalifah Umar. Ibu itu bahagia sekali. Khalifah Umar ternyata sangat
bijaksana dengan menilai seseorang bukan dari
kekayaan tapi dari kejujurannya. Sesudah Ashim
menikah dnegan gadis itu, kehidupan mereka sangat
bahagia dan membahagiakan kedua orangtuanya
dengan penuh kasih sayang. Beberapa tahun kemudian mereka dikaruniai anak dan cucu yang kelak menjadi
orang besar dan memimpin bangsa Arab, yakni Umar
bin Abdul Aziz. Hikmah : Subhanalloh, sungguh kejujuran itu walaupun
menyakitkan tetap bernilai tinggi di hadapan Alloh SWt.
Alloh meninggikan derajatnya. Maka apakah kita akan
berlaku curang demi rizki yang sedikit yang tiada
keberkahan di dalamnya . Wallohu’alam

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.