TARBIYAH RAMADHAN

TARBIYAH OF RAMADHAN (19) Jum’at, 17 September 2010 Oleh Muhammad Muhtar Arifin Sholeh A’uudzubillaahi minash-shaithaanir-rajiim Bismillaahirrahmaanirrahiim WAJAH-WAJAH SETELAH RAMADHAN Kupu-kupu adalah seekor binatang yang menyenangkan.
Banyak orang senang terhadap kupu-kupu karena
keindahan warnanya, karena binatang itu membantu proses
penyerbukan di bunga, dan karena ia tidak memusuhi
manusia. Sebelum menjadi binatang yang menyenangkan
itu, ia harus "bertapa" menjadi kepompong, yang sebelumnya menjadi ulat yang sangat menjijikkan baik
penampilannya maupun kelakuannya. “Pertapaan kepompong” tersebut dapat diibaratkan sebagai proses puasa Ramadhan. Sebelum Ramadhan manusia ibarat
seperti ulat yang menjijikkan, karena banyak dosa seperti
dosa korupsi, suap menyuap, pencurian, penipuan,
perjudian, perampokan, prostitusi, dan sebagainya.
Ramadhan merupakan waktu penyucian dan pengampunan
dosa. Penyucian dan pengampunan ini dilakukan dengan amalan puasa, shalat tarawikh, zakat, baca Quran, dzikir
pada Allah, banyak shodaqoh, dan sebagainya. Puasa bersifat universal. Universalitas puasa sesuai benar
dengan misi Nabi Muhammad saw., yaitu memberi rahmat
(kasih sayang) pada alam semesta (rahmatan lil-'aalamiin).
Beliau adalah utusan Allah - Tuhan alam semesta. Oleh
karena itu, ajaran yang dibawa Muhammad saw., termasuk
puasa, ditujukan pada seluruh manusia, tidak hanya bangsa Arab saja. Puasa diwajibkan pada orang yang beriman,
bukan hanya orang Islam. Dengan demikian, manfaat puasa
sebenarnya dapat dirasakan oleh banyak pihak, termasuk
pembangunan nasional Indonesia. Lapar dan haus yang dirasakan oleh orang yang
berpuasa merupakan suatu fenomena universal
kemanusiaan; Artinya, setiap manusia di mana saja pasti
mempunyai rasa lapar dan haus. Lapar dan haus tidak
memandang agama, suku, bangsa, bahasa, warna kulit,
status sosial, kekayaan, dan kewarganegaraan. Hal ini berarti bahwa orang yang berpuasa berusaha menyatukan dirinya
dengan kesatuan kemanusiaan (unity of mankind) tanpa
pandang bulu. Nilai edukatif kedisiplinan dan kejujuran dipancarkan dalam
ibadah puasa. Orang yang berpuasa dituntut untuk berlaku
disiplin dan jujur. Kendatipun rasa lapar dan haus yang amat
sangat menyelimuti, dia tidak diperkenankan makan dan
minum sebelum waktu Maghrib tiba, walaupun hanya
sebulir nasi atau setetes air. Kedisiplinan harus ditegakkan. Kita bisa saja menipu orang lain, tetapi tidak dapat menipu
diri sendiri dan Pencipta diri ini (Tuhan). Pada jam dua
siang pelaku puasa harus tetap jujur agar tidak minum
seteguk air di kamar mandi atau berkumur lantas sebagian
besar air dikeluarkan dan sebagian kecilnya ditelan. Nilai
disiplin dan jujur sangat perlu ditanamkan pada seluruh warga Indonesia sebagai pelaku pembangunan bangsa.
Kedisiplinan dan kejujuran adalah dua perangkat yang dapat
menyelamatkan masa depan bangsa. Allah berfirman dalam al-Quran yang artinya, “Hai orang- orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa,
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu,
agar kamu bertaqwa” (Q.S. al-Baqarah 2:183). Ayat tersebut menyebutkan bahwa tujuan berpuasa adalah
ketaqwaan, agar orang yang berpuasa menjadi orang yang
bertaqwa. Dari segi bahasa, kata taqwa berarti menjaga diri,
artinya menjaga diri agar terhindar dari hal-hal yang salah
dan dosa dan menjaga diri agar tetap dalam kebaikan dan
kebenaran di jalan Tuhan. Penjagaan tersebut dilakukan dengan melaksanakan perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya. Al-Quran menyatakan bahwa orang yang paling
mulia adalah orang yang paling bertaqwa (Q.S al-Hujuraat
49:13), bukan orang yang kaya harta, yang cantik/ganteng,
yang berstatus sosial tinggi. Nabi Muhammad saw
menegaskan bahwa Allah tidak melihat tubuh phisik dan
rupa seseorang tetapi Allah melihat hati dan amal perbuatannya. Ciri-ciri orang yang bertaqwa, antara lain, adalah
beriman pada yang ghaib, mendirikan shalat, berzakat/
berinfaq, menahan marah, memaafkan orang lain, merasa
selalu dilihat dan didengar Allah di mana saja dan kapan
saja, bersifat adil, sabar, disiplin, dan jujur. Ramadhan melatih orang beriman untuk
memperbanyak shalat, karena shalat memang mengandung
banyak pelajaran kehidupan, seperti kebersihan,
kedisiplinan, kejujuran, keikhlasan, kesabaran, solidaritas
sosial, dan sebagainya. Shalat merupakan "simbol
kehidupan", yaitu menggambarkan alur kehidupan maupun nilai-nilai yang ada dalam kehidupan. Ibadah shalat mempunyai nilai dan kedudukan yang sangat
tinggi dalam agama Islam. Allah SWT berfirman dalam al-
Quran bahwa shalat wajib dikerjakan orang yang beriman
(Q.S. 4:103), shalat untuk mengingat Allah dan memohon
pertolongan-Nya (Q.S. 2:153 ; 20:14), dengan shalat yang
baik akan diperoleh keberuntungan (Q.S. 23:1-2), dan shalat dapat mencegah keburukan (Q.S. 29:45). Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa shalat sebagai tiang
agama, siapa yang mengerjakannya dia menegakkan agama
dan yang tidak mengerjakan dia merubuhkannya. Beliau
juga bersabda bahwa shalat merupakan mi'rajul-mu'miniin,
shalat menjadi pembatas antara orang yang beriman dan
yang tidak beriman, dan shalat adalah amalan yang dihitung pertama kali pada hari kiamat kelak. Gerakan shalat dapat menjadi simbol budi pekerti manusia
seperti sifat ikhlas, sabar, rendah hati, tidak sombong, dan
sebagainya. Ikhlas (murni, asli) dapat diketahui dengan
gerakan tubuh, misalnya gerakan kaki yang hanya dapat
dilipat ke belakang. Alur kehidupan dengan gerakan orbital
berlangsung dengan relatif pelan sehingga shalat harus dikerjakan dengan sabar (tidak tergesa-gesa). Gerakan
kepala yang harus turun ke bawah sampai tanah
menunjukkan simbol rendah hati dan tidak sombong.
Posisi sujud mengajarkan bahwa kekayaan orang kaya tidak
boleh hanya di atas tetapi juga harus sampai ke bawah (fakir
miskin), ilmu orang pandai harus sampai kepada orang yang bodoh, pejabat tinggi harus memperhatikan rakyat bawah
(wong cilik). Dengan simbol budi pekerti itu orang Islam dituntut untuk
berbuat positif terhadap seluruh isi alam. Tindakan positif
terhadap alam disimbolisasikan dengan gerakan menoleh
ke kanan dan kiri sembari membaca salam sebagai akhir
shalat. Gerakan salam tersebut berarti suatu Janji (niat)
untuk memberi keselamatan (assalaamu’alaikum), kerahmatan (warahmatullaah), dan keberkahan (wabarakaatuh) kepada semua mahluk, baik manusia
maupun bukan manusia baik muslim maupun non muslim,
yang berada di sebelah kanan maupun kiri. Dengan
demikian, setelah shalat kaum muslimin dituntut untuk
mengaktualisasikan "janji" itu. Pasca Ramadhan bagaimana ? Ramadhan telah usai, dengan harapan orang yang
menegakkan bulan Ramadhan menjadi orang yang bertaqwa
dan memperoleh kesempatan agar tahun depan menemui
Ramadhan kembali. Namun, di tengah kehidupan yang
penuh dinamika ini, setan tetap bergentayangan menggoda
manusia agar mau diajak ke jalan sesat. Oleh karena itu, kiranya perlu persiapan mental untuk menghadapi
“kejamnya” bulan setelah Ramadhan. Saat Ramadhan kita dilatih bangun pagi-pagi supaya bisa
shalat shubuh, tetapi setelah Ramadhan akankah kita shalat
shubuh pagi-pagi ? Saat Ramadhan kita dilatih
memperbanyak shalat (dengan shalat tarawikh / tahajud-
witir), tetapi setelah Ramadhan akankah kita masih bisa
shalat tahajud-witir ? Saat Ramadhan kita dilatih untuk memperbanyak baca al-Quran, tetapi setelah Ramadhan
akankah kita masih bertadarus ? Saat Ramadhan kita dilatih
untuk disiplin, sabar, jujur, dan ikhlas, tetapi setelah
Ramadhan akankah kita bisa seperti itu ? Saat Ramadhan kita
dilatih untuk mendalami ilmu agama Islam, tetapi setelah
Ramadhan akankah kita bisa meneruskannya ? Saat Ramadhan kita dilatih untuk menghindari korupsi dan
suap-menyuap, tetapi setelah Ramadhan akankah negara
kita masih menjadi negara terkorup ? Saat Ramadhan
lokalisasi prostitusi diistirahatkan, tetapi setelah Ramadhan
akankah para wts, germo, dan hidung belang beristirahat
dari kemaksiatannya untuk selamanya ? Saat Ramadhan tempat perjudian dan mabuk-mabukkan ditutup, tetapi
setelah Ramadhan akankah tempat-tempat maksiat itu
ditutup untuk seterusnya ? Saat Ramadhan acara di televisi
dibanjiri dengan pesan-pesan dan nilai-nilai agama, tetapi
setelah Ramadhan akankah banjir nilai agama di acara
televisi kita menjadi menyusut bahkan mengering ? Saat Ramadhan para pedagang kerudung laris manis dan
pemakainya membludak, tetapi setelah Ramadhan akankah
kerudung-kerudung itu masuk “museum” almari ? Saat Ramadhan para fakir-miskin, yatim-piatu, gelandangan, dan
anak jalanan benar-benar terjamin hidupnya karena banyak
yang membantu, tetapi setelah Ramadhan akankah mereka
terlantar kembali ? Saat Ramadhan setan-setan dibelenggu,
tetapi setelah Ramadhan akankah mereka beroperasi kembali
secara lebih dahsat ? dan saat Ramadhan kita ibarat dicetak menjadi kupu-kupu yang indah dan menyenangkan, tetapi
setelah Ramadhan akankah kita berangsur-angsur kembali
menjadi ulat yang buruk dan menjijikkan ? Setelah Ramadhan ini, mengapa tidak tetap puasa padahal
ada 6 hari sawal dan Senin-Kamis? Mengapa tidak tetap
tahajud-witir padahal masih bisa bangun sebelum subuh?
Mengapa tidak tetap baca dan belajar al-Quran padahal
mushhaf al-Quran masih ada banyak? Mengapa tidak tetap
infaq-shadqah padahal jumlah fakir-miskin masih buaanyaaak? Mengapa tempat prostitusi dan maksiat lain
dibuka lagi setelah Ramadhan, padahal itu zina tetap haram
kapan saja? Mengapa siaran islami di TV menguap setelah
Ramadhan? Mengapa jumlah wanita berkerudung (berjilbab)
berkurang setelah Ramadhan padahal menurut aurat itu
wajib selama hidup? (…mayat aja ditutup auratnya….he… he..he…) Wallaahu a’lam bish-shawwab, Fas-aluu ahladz-dzikri inkuntum laa ta’lamuun Pengasuh Kajian : Muhammad Muhtar Arifin Sholeh Dosen di UNISSULA Semarang Ph.D Student di Department of Information
Studies, University of Sheffield, United Kingdom Alumni Aberystwyth University, United ingdom Alumni Antropologi UGM

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.