Tentang Kontroversi Stephen Hawking: Allah Mencipta Semesta dengan Cara-Nya

Buku sains populer oleh Stephen Hawking, pakar kosmologi dan fisika teoritik, sering
menyinggung sisi kontroversi hubungan sains – agama. Isinya secara umum membahas tentang hukum-hukum
fisika dan fenomena alam semesta, tetapi kemudian
dikaitkan dengan eksistensi Tuhan menurut cara pandang
pribadinya. Kesimpulannya: Tidak ada Tuhan. Dua buku
yang menarik perhatian publik adalah ”A Brief History of Time” (1988) yang mempertanyakan peran Tuhan dan “The Grand Design” yang baru diluncurkan September 2010 ini yang tegas menyatakan tidak perlu ada Tuhan
untuk terjadinya alam semesta ini. Sisi kontroversial ini
yang kemudian menjadi sorotan media massa, karena
ketika nilai-nilai agama tersentuh, orang seolah tergugah
rasa ingin tahunya, walau sebenarnya kesimpulan
hubungan sains – agama terasa mengada-ada. Hawking dalam buku “A Brief History of Time” menyatakan bahwa tidak ada batas dalam waktu, tidak ada singularitas Big
Bang dengan menyebutnya “No-boundary condition”. Dengan menggunakan keadaan tak berbatas ini
(“No-boundary condition”), Hawking menyatakan bahwa alam semesta mulai hanya dengan keacakan
minimum yang memenuhi Prinsip Ketidakpastian.
Kemudian alam semesta mulai mengembang dengan
pesat. Dengan Prinsip Ketidakpastian ini, dinyatakan
bahwa alam semesta tak mungkin sepenuhnya seragam,
karena di sana sini pasti didapati ketidakpastian posisi dan kecepatan partikel‑partikel. Dalam alam semesta yang sedang mengembang ini kerapatan (density) suatu
tempat akan berbeda dengan tempat lainnya.
Gravitasi menyebabkan daerah yang berkerapatan tinggi
makin lambat mengembang dan mulai memampat
(berkontraksi). Pemampatan inilah yang akhirnya
membentuk galaksi‑galaksi, bintang‑bintang, dan semua benda‑benda langit. Berdasarkan model tersebut Hawking menyatakan, “Sejauh anggapan bahwa alam semesta bermula, kita menganggap ada
Sang Pencipta. Tetapi jika alam semesta
sesungguhnya ada dengan sendirinya, tak berbatas tak
bertepi, tanpa awal dan akhir, lalu di manakah peran
Sang Pencipta.” Buku barunya yang ditulis bersama pakar fisika Leonard Mlodinow ”The Grand Design” (berdasarkan pemaparan Wikipedia) mengulas tentang alam semesta dan hukum-hukumnya secara
populer. Bagian utama yang disorot adalah bahasan
tentang teori mekanika kuantum dan teori relativitas
yang diarahkan untuk menjelaskan bahwa alam semesta
dapat terbentuk dari ketiadaan. Hawking menyatakan,
”Karena ada hukum seperti Hukum Gravitasi, alam semesta dapat dan akan menciptakan dirinya dari
ketiadaan. Penciptaan dengan sendirinya menjadi alasan
adanya sesuatu bukannya ketiadaan, adanya alam
semesta, dan adanya kita. Tidak perlu campur tangan
Tuhan untuk menjadikan alam semesta.” Cara pandang Hawking dalam buku pertama dan kedua sama saja,
bahwa karena adanya hukum alam seperti hukum
gravitasi maka alam semesta bisa tercipta dengan
sendirinya. Peran Tuhan tampaknya digambarkan sesuai
dengan definisi keyakinannya, sehingga adanya hukum
alam itu sendiri dianggapnya ada dengan sendirinya. Kalau mau ditelusuri lagi logikanya, kita bisa
mempertanyakan, lalu hukum alam itu dari mana asal
usulnya? Hawking tidak membahas asal-usul hukum itu
sendiri. Logika orang beriman segera mengarahkan
bahwa pasti ada Tuhan Sang Pencipta yang menciptakan
hukum-hukum di alam. Dalam bahasa Islam, hukum- hukum itu kita sebut Sunnatullah. Perintah-Nya ketika
menciptakan alam ”Kun fa ya kun, Jadilah maka jadilah”, bisa dipahami dengan sains bahwa Allah menciptakan
alam dengan menciptakan hukum-hukum-Nya sehingga
alam berproses sesuai hukum Allah (sunnatullah)
tersebut. Jangan dibayangkan Allah menciptakan seperti
manusia mencipta. Allah memang menciptakan alam
semesta dengan cara-Nya.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.