MonarkiYogyakarta: Apanya ?

Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebut istilah monarki, Sultan Hamengku Buwono X langsung bereaksi. Apakah Presiden SBY mengetengahkan sebutan monarki itu kepada Yogyakarta ataukah kepada ratusan utusan kerajaankerajaan lama yang sedang berkumpul di Palembang, Sumatera Selatan? Pemberitaan media menyebut berkaitan dengan Rancangan Undang-Undang tentang Keistimewaan Yogyakarta.

Presiden SBY membawa persoalan ini terlalu jauh yakni membenturkan antara demokrasi dan monarki. Seolah-olah monarki bertentangan dengan demokrasi. Padahal, dari data yang dikeluarkan oleh Freedom House, sebagian besar negara di Eropa, Amerika Serikat, Amerika Latin, termasuk Indonesia dan India di Asia, adalah negara yang masuk kategori bebas atau free dengan warna hijau ( http://www.freedomhouse.org ). Dengan kategori itu, negara-negara monarki di Eropa adalah juga negara demokratis.

Perdebatan sejumlah politisi membuka tabir yang sebenarnya dari ucapan Presiden, yakni menyangkut penetapan atau Pemilihan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Selama ini jabatan itu langsung diberikan kepada Kesultanan Yogyakarta, dalam hal ini Sultan Hamengku Buwono (HB) IX dan Sultan HB X. Pemikiran yang muncul dalam rapat Kabinet Indonesia Bersatu II menyimpulkan bahwa penetapan itu membawa kepada sistem monarki dan antidemokrasi.

LIMA SISTEM

Dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia, kita mengenal lima sistem atau model pemerintahan daerah. Kelimanya adalah: (1) Daerah Istimewa Yogyakarta serta Aceh di masa lalu; (2) Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta; (3) Daerah Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat; (4) Daerah Self Government Aceh, dan (5) Daerah Otonom yang berdasarkan UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah terdapat 28 provinsi.

Tujuh provinsi meminta disebut sebagai Provinsi Kepulauan, namun masih negosiasi dengan pemerintah pusat. Dengan model itu, Jakarta, Aceh, Papua, Papua Barat, dan Yogyakarta diatur dengan undangundang yang berbeda dengan UU No 32/2004. Untuk Aceh, misalnya, diterapkan syariat Islam bagi kaum muslim dan keterlibatan partai politik lokal dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) dan pemilu nasional. Untuk Papua dan Papua Barat, gubernur hanya boleh berasal dari ras Melanesia, serta dibentuk Majelis Rakyat Papua yang tidak ada di provinsi lain. Jakarta tidak memiliki DPRD Kota, begitu juga wali kota ditetapkan tidak melalui proses pilkada. Beragam variasi itu menunjukkan bahwa Indonesia memang menganut paham Bhinneka Tunggal Ika. Bukan hanya dalam budaya, melainkan juga sistem pemerintahan daerahnya. Karena itu, banyak pihak sepakat bahwa penetapan Sultan HB X sebagai Gubernur DIY tidak bertentangan dengan demokrasi dan konstitusi. Penetapan itu bagian dari sejarah bangsa dan negara Indonesia yang memang tidak seragam. Dengan keberadaan UU yang mengikat Yogyakarta selama ini, sebutan terjadi monarki sungguh tidak biasa. Strategi Budaya Keindonesiaan tidak dibangun dalam semalam. Almarhum Nurcholish Madjid menulis, betapa Indonesia diimpit oleh minimal empat gelombang kebudayaan, mulai dari zaman batu, agraris, industri, sampai zaman teknologi informasi. Ibarat anak-anak dan manusia dewasa, Indonesia bukan berasal dari umur yang sama.

Kita belum lama menyaksikan kemerdekaan Timor Timur menjadi Negara Timor Leste, sembari melihat konflik bersenjata berakhir di Aceh. Maka, alangkah ahistorisnya kalau perdebatan menyangkut status pemilihan atau penetapan Gubernur DIY dibawa ke dalam konsep monarki atau bukan. Yogyakarta adalah sedikit dari provinsi yang terkenal atau dikenali oleh rakyat Indonesia. Selain kota atau daerah pelajar, Yogyakarta memiliki banyak seniman. Sejumlah kajian menunjukkan bahwa yang menjaga Yogyakarta tetap seperti Yogyakarta sekarang adalah menyatunya Sultan HB IX dan Sultan HB X dengan posisi sebagai Gubernur Yogyakarta.

Perlindungan terhadap kebudayaan lokal terjadi dengan baik. Kalau diperhatikan, kerajaankerajaan lama masih hidup di berbagai daerah. Presiden SBY dan Ibu Negara Ani Yudhoyono bahkan mendapat gelar yang sering disebut sebagai simbol feodalisme itu. Persoalan utamanya, seringkali pengaruh kerajaan-kerajaan lama itu tidak sampai ke masyarakat, hanya di seputar Istana. Sementara pengaruh Sultan HB IX dan HB X sampai di masyarakat Yogyakarta. Tahun 1998, misalnya, Sultan HB X berhasil menenangkan masyarakat Yogyakarta sehingga kerusuhan tidak terjadi. Di DKI Jakarta, toserba bermerek Yogya banyak hangus terbakar. Sekalipun kerajaan-kerajaan lama itu kurang berpengaruh secara politik dan pemerintahan, namun di bidang kebudayaan sangat penting artinya. Tidak semua pimpinan daerah memahami kebudayaan dengan baik, apalagi di zaman demokrasi ultraliberal dewasa ini. Sejumlah kepala daerah dari kalangan pengusaha, misalnya, dengan serta merta hanya berorientasi kepada ekonomi daerah.

Tarian dan nyanyian adalah acara yang dianggap membosankan. Jadi, momentum untuk menyusun UU Keistimewaan Yogyakarta ini selayaknya digunakan untuk sesuatu yang lebih besar yakni bagaimana pemerintah pusat mengedepankan kebudayaan Indonesia. Apakah pemerintah memiliki strategi dan agenda kebudayaan? Ataukah kita mau kembali terjebak sebagai mangsa kebudayaan-kebudayaan luar yang terus masuk ke Indonesia?(*)

sumber:
Indra J Piliang
Dewan Penasihat
The Indonesian Institute

http://www.seputar-indonesia.com

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.