Tanpa judul

MEREKA HANYA TAHU SEDIKIT TENTANG DUNIA

dakwatuna.com - ”(Sebagai) janji yang sebenarnya dari Allah. Allah sekali-kali tidak akan menyalahi janjinya, tetapi
kebanyakan manusia tidak Mengetahui. Mereka hanya
mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang
mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (Ar-Rum: 6-7) Ayat ini menurut Al-Qurthubi berbicara tentang kriteria
umum orang-orang kafir atau kaum musyrik Mekkah yang
hanya memperhatikan satu kehidupan saja, yaitu kehidupan
dunia. Sehingga, siapapun yang bersikap demikian, tidaklah
berbeda dengan orang kafir yang jelas mendapat kerugian di
akhirat kelak. Mereka mengetahui kehidupan dunia sebatas untuk meraih kesenangan. Pengetahuan mereka tentang
urusan duniawi justru disamakan oleh Allah swt. dengan
orang-orang yang tidak tahu, karena pengetahuan seseorang
yang terbatas hanya tentang dunia adalah sama dengan
kebodohan. Bahkan ditegaskan dalam ayat di atas bahwa
pengetahuan mereka tentang dunia pun sangat parsial, sebatas memahami sisi lahir dari kehidupan dunia yang luas
ini, yaitu tentang kesenangan dan kenikmatannya saja, tidak
tentang ujian, tanggung jawab, dan persoalan-persoalan
penting dunia lainnya yang menghantarkan pada balasan baik
di akhirat kelak. Pemahaman seperti ini secara bahasa dapat dibenarkan
seperti yang diungkapkan oleh Az-Zamakhsyari bahwa kata َنوُمَلْعَي adalah badal dari kata ال نوملعي sehingga keduanya bermakna satu, yaitu kebodohan dan ketidaktahuan. Demikian juga kata zahir
dalam ayat ini mengisyaratkan bahwa dunia harus dipahami
dengan dua dimensinya secara komprehensif, yaitu dimensi
lahir maupun dimensi batin. Dimensi lahir terbatas pada
kesenangan dan kenikmatan dunia, sedangkan dimensi batin
adalah esensi dunia sebagai tempat beramal menuju kebahagiaan hidup yang sesungguhnya di akhirat kelak. Kata اًرِهاَظ yang disebut dalam bentuk nakirah ‘indifinitive’ menunjukkan bahwa pemahaman mereka terhadap dunia pun masih parsial, tidak menyeluruh, apalagi
tentang kehidupan pasca kehidupan dunia. Kecaman Allah terhadap orang kafir –karena sikap mereka yang melulu hanya mengurusi dunia– tidak berarti bahwa urusan dunia tidak mendapatkan porsi perhatian sewajarnya.
Pengetahuan orang kafir tentang dunia yang dikecam oleh
Allah adalah karena pengetahuan mereka yang sempit,
parsial dan tidak utuh. Sehingga, orang yang beriman harus
memperhatikan sisi dunia secara komprehensif sebagai
bagian dari mempersiapkan kehidupan akhirat yang lebih baik agar terhindar dari kriteria orang yang lalai yang disebutkan pada petikan terakhir ayat ini ْمُهَو ِنَع ِةَرِخَآْلا ْمُه
َنوُلِفاَغ Lalai yang dimaksud dalam ayat ini yang dinyatakan dengan
kata ‘ghafilun’ menurut Asy-Syaukani adalah dalam arti tidak memberi perhatian dan kepeduliaan tentang urusan akhirat,
serta tidak mempersiapkan untuk menghadapi kehidupan
tersebut dengan menjalankan ketaatan dan amal shalih
sebagai bekal meraih kebahagiaan seperti yang mereka
lakukan tentang urusan kehidupan dunia mereka. Dalam
sebuah syair Arab disebutkan tentang konsepsi kebodohan dalam terminologi agama: نمو ةّيلبلا نأ ىرت كل ًابحاص … يف ةروص لجرلا عيمسلا رصبملا ٍنطف لكب ةبيصم يف هلام … اذإو باصي هنيدب مل رعشي Dan dari kebodohan itu adalah kamu melihat seorang kawan seakan ia seorang yang mendengar dan melihat Ia sangat paham tentang musibah yang menimpa hartanya, namun sangat disayangkan ia sama sekali tidak sadar
tentang musibah yang menimpa agamanya Sikap lalai terhadap urusan akhirat menurut Sayyid Quthb
merupakan musibah bagi manusia yang beriman. Karena
keimanan seseorang seharusnya akan membimbing dan
senantiasa mengarahkan untuk juga memperhatikan dan
mempersiapkan kehidupan akhirat. Karena, kelengahan
terhadap akhirat akan menjadikan barometer sesuatu menjadi rancu. Segalanya diukur dengan ukuran material.
Itulah bukti pemahaman yang sempit tentang kehidupan.
Seorang yang memahami kehidupan akhirat akan mengubah
pandangannya tentang dunia tidak melulu untuk memuaskan
nafsu dan kesenangan materi semata. Tetapi, ia akan
bersungguh-sungguh bekerja dan beramal untuk menyelamatkan diri di akhirat kelak. Inilah pertimbangan
dan parameter yang benar tentang kehidupan yang
sesungguhnya. Dan jika seseorang telah lalai akan akhirat,
pasti ia akan lebih melupakan Allah swt. Padahal Allah telah
menegaskan, “Dan janganlah kalian seperti orang yang melupakan Allah, maka mereka berarti telah melupakan diri
sendiri. Dan itulah orang-orang yang fasik.” (Al-Hasyr: 19). Oleh karenanya, Allah swt. menegaskan di ayat berikutnya
tentang dua kelompok manusia, yaitu penghuni surga dan
dan penghuni neraka sebagai perumpamaan bagi mereka
yang hanya memperhatikan kehidupan dunia dengan mereka
yang memiliki orientasi akhirat yang benar, dan itulah
hakikat pemahaman yang komprehensif tentang kehidupan ini. Sikap melalaikan urusan akhirat karena didominasi oleh
perhatian yang besar tentang kesenangan dunia merupakan
di antara ciri orang-orang kafir yang dikecam oleh Allah swt.
Tentu penyebutan sifat mereka di dalam Al-Qur’an merupakan bahan pelajaran yang berharga bagi orang yang
beriman agar tidak memiliki sikap seperti mereka. Karena
jika tidak, tidaklah dikatakan orang yang beriman apabila
hanya mementingkan urusan dunia dengan tidak memiliki
kepedulian akan persiapan yang matang untuk kehidupan
akhirat yang lebih kekal. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Tirmidzi, Rasulullah saw.
menyebutkan ciri orang yang cerdas, ternyata terkait dengan
perhatian akan kehidupan akhirat. Rasulullah saw. bersabda: ُسِّيَكْلا ْنَم َناَد ُهَسْفَن َلِمَعَو اَمِل َدْعَب ِتْوَمْلا ُزِجاَعْلاَو ْنَم َعَبْتَأ ُهَسْفَن اَهاَوَه ىَّنَمَتَو ىَلَع ِهَّللا “Orang yang cerdas adalah orang yang mampu mengendalikan nafsunya dan beramal untuk kehidupan
setelah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah orang
yang memperturutkan nafsunya dan hanya berangan-angan
terhadap Allah (tidak beramal).” Demikian pelajaran yang berharga tentang gambaran orang-
orang kafir yang harus menjadi pembeda dengan orang yang
beriman. Kehidupan dunia ini harus mendapat perhatian
sewajarnya sesuai dengan tuntunan Allah swt., karena
kehidupan dunia dapat menjadi potret akan keadaan
kehidupan seseorang di akhirat kelak. Jika akhir kehidupan dunianya baik, maka begitulah kehidupan yang akan
dijalaninya di akhirat kelak. Namun jika penuh dengan dosa
dan kemaksiatan, maka tentu hukuman siksa dan azab
menjadi makanan yang tidak akan berhenti selama-lamanya
di akhirat kelak. Begitu juga, kehidupan dunia harus
dipahami secara utuh, terutama berhubungan dengan tugas dan tanggung jawab kemanusiaan, karena Allah menciptakan
manusia tidak sia-sia. Maka, hidup di dunia ini tidak boleh
disia-siakan dengan melulu mengurusi kesenangan dan
kenikmatannya!

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.